Imaginary Story About Random Stranger
Hari itu adalah hari yang terik. Seorang nenek renta, berbaju lusuh dengan kerudung sekenanya, mengais-ngais sampah di jalanan. Botol-botol air mineral, kaleng-kaleng, semua berjejalan di karung yang disandangnya. Walau kaki terasa perih karena sendal jepit yang dipakai sudah begitu tipis, nenek itu terus berjalan.
Suaminya telah lama meninggal karena sakit. Sepeninggal anak perempuan satu-satunya yang dibawa merantau ke ibukota oleh sang menantu, dirinya harus menyambung hidup dengan apapun pekerjaan yang masih sanggup dilakukannya.
Seorang tetangga, mengajaknya menjadi pemulung, hasilnya memang hanya cukup untuk makan tapi itu masih lebih baik baginya daripada menjadi peminta-minta. Pagi-pagi sekali setiap hari si nenek sudah mulai "berdinas". Dia dengan tetangganya sepakat bertemu ba'da dzuhur di depan gedung sate, Tetangganya selalu khawatir jika nenek renta ini sedang mengais sampah sendirian, takut tiba-tiba terjadi sesuatu. Berulang kali dia berpesan agar si nenek hati-hati, dan jangan sampai terlewat berhenti dari angkot nanti.
Sudah hampir dzuhur menurut perkiraan si nenek, ia bergegas menunggu angkot menuju arah gedung sate. Angkot yang dinaiki hanya berisi tiga penumpang termasuk dirinya. Dengan sungkan, duduklah si nenek di dekat pintu. Seorang anak gadis segera bergeser jauh ke belakang ketika nenek ini naik. Mungkin baju dan tampilan si nenek yang terkesan kotor dan jorok membuat si gadis risih. Satu penumpang lain seorang laki-laki muda, dia terlihat acuh. Tak seberapa jauh, naik ibu-ibu dan anak perempuannya. Mereka melirik si nenek sekilas, merasa agak iba.
Tepat di samping gedung sate, si nenek tergesa turun. Takut tetangganya menunggu lama, diangsurkannya uang lima ribu pada supir. Dia lalu berlari tanpa memperdulikan panggilan supir dan penumpang lain di angkot, dia berhak atas uang kembalian dua ribu rupiah.
*terinspirasi nenek-nenek yang ditemui beberapa kali di angkot
Semoga Allah memuliakanmu, Nek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar