Senin, 28 Maret 2016

Kapan Menikah?

“Kenapa belum menikah?,” lalu disusul, “Udah ada calonnya belum?,” dan yang telak menghujam adalah, “Lo masih doyan laki kan?.”

Setahun terakhir, berkisar di situ saja pertanyaan yang dialamatkan pada saya. Annoying? Hehe...kalau saya sih, "yes." Males keleeeeus ditanya-tanya itu melulu. Keberadaan kami yang masih melajang di usia thirty something menjadi sesuatu yang mungkin bagi sebagian masyarakat terlihat janggal dan layak untuk dipertanyakan, sekalipun misalnya kami hidup dengan bahagia dalam kelajangan kami.

Saya seorang muslim, kemusliman tersebut berkonsekuensi pada setiap jengkal detil-detil kehidupan yang saya jalani. Hal apapun, bahkan yang sekecil-kecilnya, saya berusaha tunduk patuh pada aturan islam. Siapa saya, berani menentang-Nya. Mengenai pernikahan, baginda nabi menyatakan bahwa yang tidak menikah bukan termasuk umatnya. Beliau adalah junjungan, panutan, seseorang yang sangat saya percayai segala perkataannya. Apalagi yang lebih mengerikan dari tidak diakui sebagai umat beliau.

Tidak perlu lah saya umbar-umbar sedang menjalin hubungan dengan siapa, toh kelangsungan hubungan itupun tidak pernah saya ketahui dengan pasti akan berjalan berapa lama dan berujung seperti apa. Saya hanya menjalani, mengusahakan yang terbaik dan berserah pada keputusan-Nya. Sejak tidak merasa nyaman dengan konsep ‘pacaran’, saya berhenti pacaran. Hubungan yang dijalani lebih sebagai proses mengomunikasikan hal-hal yang prinsip, berusaha menemukan kecocokan dan mengukur kesanggupan untuk saling menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing. Jika di perjalanan terasa tidak lagi sanggup bertahan atau tidak kunjung mendapatkan ketetapan hati, ya saling jujur secepat-cepatnya agar tidak membuang waktu percuma. Aneh? Saya lebih suka dianggap aneh daripada bertahan pada sesuatu yang hati saya tidak berkenan menjalaninya.

Tidak banyak laki-laki yang sepaham dengan jalan yang saya pilih. Tidak ada kontak fisik, sepertinya itu yang terberat bagi mereka. Saya jengah berangkul-rangkulan, atau bahkan sekadar bergandengan tangan ketika menyebrang jalan. Jikalau lah mereka tahu, setiap sentuhan tidak halal itu memberikan kerikil-kerikil panas bagi orang tua kami. Saya sayang sekali orang tua saya, terlebih lagi ibu. Mana lah saya tega menghadiahi beliau bara neraka. Na’udzubillah.

Dulu di masa kuliah, setiap kali mendapat pertanyaan apa nanti akan bekerja di organisasi internasional atau menjadi pegawai kedutaan, selalu saya jawab bahwa itu tergantung keridhoan suami saya. Selama belum menikah, saya bebas mengambil pekerjaan yang saya suka. Setelah menikah, saya hanya akan ambil pekerjaan yang dia ridho atasnya, tidak akan saya bantah. Saya sekolah tinggi bukan untuk bekerja di mana atau meraih posisi apa, pada dasarnya saya senang belajar, itu saja. Lagi-lagi terasa aneh? Ya, tidak apa-apa. Kita tidak harus selalu punya pemikiran yang sama kan?

Arrijaalu qowwaamuuna ‘alan nisaa’. Satu hal yang tidak bisa saya turunkan standarnya dari kriteria suami yang saya harapkan, memiliki kualitas sebagai seorang imam. Dia akan menjadi imam dalam rumah tangga kami, dan saya beserta keturunan kami kelak adalah makmumnya. Seperti dalam sholat berjama'ah, imam harus memiliki kualitas yang disyaratkan, di antaranya adalah ketartilan dan kefasihan bacaan Qur’annya. Tentu saya mengharap suami yang tidak hanya dapat membaca Qur’an dengan baik dan benar tapi juga memahami dan mengamalkan apa yang telah dibacanya. Banyak hal yang akan dialami selama mengarungi bahtera rumah tangga, cukuplah Qur’an menjadi pedoman kami dalam menghadapi gelombang dan badai yang menghadang. Pemimpin yang baik akan membuat seluruh anggotanya padu berjalan ke arah yang sama, membuat segala sesuatu menjadi lebih efisien dan efektif.

Islam membutuhkan pejuang-pejuang tangguh. Dari semua cita-cita, melahirkan penghapal-penghapal Qur’an adalah impian terbesar para muslimah. Jika hari ini saya belum berhasil dengan apa yang saya cita-citakan bagi diri saya sendiri, kuliah di luar negeri dan sebagainya, saya masih memiliki harapan untuk dapat mewujudkan impian melahirkan generasi penghapal Qur’an yang kelak menjadi pejuang islam yang tangguh. Saya tentu tidak bisa sendirian mencapainya, butuh partner yang memiliki kesamaan visi dan misi dalam hal tersebut. Hingga sekarang saya masih terus merajuk pada-Nya untuk meng-acc proposal saya tentang partner ini. Apalagi modal saya selain sabar dan sholat, berikhtiar lalu bertawakal. Jika ada pertanyaan-pertanyaan tentang menikah, saya senyum saja. Allah tahu lebih dari apa yang saya dan mereka tahu.


Wallahu a lam bishowab.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar