Habe nun, ach! Philosophie,
Juristerei und Medizin,
Und leider auch Theologie
Durchaus studiert, mit heißem Bemühn.
Da steh' ich nun, ich armer Tor,
Und bin so klug als wie zuvor!
Heiße Magister, heiße Doktor gar,
Und ziehe schon an die zehen Jahr'
Herauf, herab und quer und krumm
Meine Schüler an der Nase herum -
Und sehe, daß wir nichts wissen können!
Das will mir schier das Herz verbrennen.
Zwar bin ich gescheiter als alle die Laffen,
Doktoren, Magister, Schreiber und Pfaffen;
Mich plagen keine Skrupel noch Zweifel,
Fürchte mich weder vor Hölle noch Teufel -
Dafür ist mir auch alle Freud' entrissen,
Bilde mir nicht ein, was Rechts zu wissen,
Bilde mir nicht ein, ich könnte was lehren,
Die Menschen zu bessern und zu bekehren.
Auch hab' ich weder Gut noch Geld,
Noch Ehr' und Herrlichkeit der Welt;
Es möchte kein Hund so länger leben!
Drum hab' ich mich der Magie ergeben,
Ob mir durch Geistes Kraft und Mund
Nicht manch Geheimnis würde kund;
Daß ich nicht mehr mit sauerm Schweiß
Zu sagen brauche, was ich nicht weiß;
Daß ich erkenne, was die Welt
Im Innersten zusammenhält,
Schau' alle Wirkenskraft und Samen,
Und tu' nicht mehr in Worten kramen.
Johann Wolfgang von Goethe
Kamis, 31 Maret 2016
Senin, 28 Maret 2016
Kapan Menikah?
“Kenapa belum menikah?,” lalu disusul, “Udah ada calonnya belum?,” dan yang telak menghujam adalah, “Lo masih doyan laki kan?.”
Setahun terakhir, berkisar di situ saja pertanyaan yang dialamatkan pada saya.
Annoying? Hehe...kalau saya sih, "yes." Males keleeeeus ditanya-tanya itu melulu. Keberadaan
kami yang masih melajang di usia thirty
something menjadi sesuatu yang mungkin bagi sebagian masyarakat terlihat janggal dan layak
untuk dipertanyakan, sekalipun misalnya kami hidup dengan bahagia dalam
kelajangan kami.
Saya seorang muslim, kemusliman tersebut berkonsekuensi pada setiap jengkal detil-detil kehidupan yang saya jalani. Hal apapun, bahkan yang sekecil-kecilnya,
saya berusaha tunduk patuh pada aturan islam. Siapa saya, berani menentang-Nya.
Mengenai pernikahan, baginda nabi
menyatakan bahwa yang tidak menikah bukan termasuk umatnya. Beliau adalah
junjungan, panutan, seseorang yang sangat saya percayai segala perkataannya. Apalagi
yang lebih mengerikan dari tidak diakui sebagai umat beliau.
Tidak perlu lah saya umbar-umbar sedang menjalin hubungan dengan siapa, toh
kelangsungan hubungan itupun tidak pernah saya ketahui dengan pasti akan
berjalan berapa lama dan berujung seperti apa. Saya hanya
menjalani, mengusahakan yang terbaik dan berserah pada keputusan-Nya. Sejak tidak
merasa nyaman dengan konsep ‘pacaran’, saya berhenti pacaran. Hubungan yang
dijalani lebih sebagai proses mengomunikasikan hal-hal yang prinsip, berusaha
menemukan kecocokan dan mengukur kesanggupan untuk saling menerima kekurangan dan
kelebihan masing-masing. Jika di perjalanan terasa tidak lagi sanggup bertahan atau tidak kunjung mendapatkan ketetapan hati,
ya saling jujur secepat-cepatnya agar tidak membuang waktu percuma. Aneh? Saya
lebih suka dianggap aneh daripada bertahan pada sesuatu yang hati saya tidak
berkenan menjalaninya.
Tidak banyak laki-laki yang sepaham dengan jalan yang saya pilih. Tidak ada
kontak fisik, sepertinya itu yang terberat bagi mereka. Saya jengah berangkul-rangkulan,
atau bahkan sekadar bergandengan tangan ketika menyebrang jalan. Jikalau lah mereka
tahu, setiap sentuhan tidak halal itu memberikan kerikil-kerikil panas bagi
orang tua kami. Saya sayang sekali orang tua saya, terlebih lagi ibu. Mana lah
saya tega menghadiahi beliau bara neraka. Na’udzubillah.
Dulu di masa kuliah, setiap kali mendapat pertanyaan apa nanti akan
bekerja di organisasi internasional atau menjadi pegawai kedutaan, selalu saya
jawab bahwa itu tergantung keridhoan suami saya. Selama belum menikah, saya bebas mengambil pekerjaan yang saya suka. Setelah menikah, saya hanya akan ambil pekerjaan yang
dia ridho atasnya, tidak akan saya bantah. Saya sekolah tinggi bukan untuk
bekerja di mana atau meraih posisi apa, pada dasarnya saya senang belajar, itu
saja. Lagi-lagi terasa aneh? Ya, tidak apa-apa. Kita tidak harus selalu punya
pemikiran yang sama kan?
Arrijaalu qowwaamuuna ‘alan nisaa’. Satu hal yang tidak bisa saya turunkan
standarnya dari kriteria suami yang saya harapkan, memiliki kualitas sebagai
seorang imam. Dia akan menjadi imam dalam rumah tangga kami, dan saya beserta
keturunan kami kelak adalah makmumnya. Seperti dalam sholat berjama'ah, imam harus
memiliki kualitas yang disyaratkan, di antaranya adalah ketartilan dan
kefasihan bacaan Qur’annya. Tentu saya mengharap suami yang tidak hanya dapat
membaca Qur’an dengan baik dan benar tapi juga memahami dan mengamalkan apa
yang telah dibacanya. Banyak hal yang akan dialami selama mengarungi bahtera
rumah tangga, cukuplah Qur’an menjadi pedoman kami dalam menghadapi gelombang
dan badai yang menghadang. Pemimpin yang baik akan membuat seluruh anggotanya padu
berjalan ke arah yang sama, membuat segala sesuatu menjadi lebih efisien dan
efektif.
Islam membutuhkan pejuang-pejuang tangguh. Dari semua cita-cita, melahirkan penghapal-penghapal Qur’an
adalah impian terbesar para muslimah. Jika hari ini saya belum berhasil dengan
apa yang saya cita-citakan bagi diri saya sendiri, kuliah di luar negeri dan sebagainya,
saya masih memiliki harapan untuk dapat mewujudkan impian melahirkan generasi penghapal Qur’an yang kelak menjadi pejuang islam yang tangguh. Saya tentu tidak bisa
sendirian mencapainya, butuh partner yang memiliki kesamaan visi dan misi
dalam hal tersebut. Hingga sekarang saya masih terus merajuk pada-Nya untuk
meng-acc proposal saya tentang partner ini. Apalagi modal saya selain sabar dan
sholat, berikhtiar lalu bertawakal. Jika ada pertanyaan-pertanyaan tentang
menikah, saya senyum saja. Allah tahu lebih dari apa yang saya dan mereka tahu.
Wallahu a lam bishowab.
Langganan:
Postingan (Atom)